Sistem Ekonomi Pancasila, Pengertian, Landasan, Prinsip, Konsep dan Demokratisasi
A. LANDASAN EKONOMI PANCASILA
Konsep Sistem Ekonomi Pancasila mulai dikembangkan lebih serius sejak Seminar Nasional di Universitas Gadjah Mada tahun 1980. Pada waktu itu Ekonomi Pancasila tidak sekadar dimaknai sebagai sebuah Sistem Ekonomi, seperti konsep Sistem Ekonomi Pancasila-nya Emil Salim (1966), melainkan mulai digagas sebagai sebuah ilmu ekonomi (alternatif). Ekonomi Pancasila yang dikembangkan oleh pakar-pakar ekonomi (terutama dari UGM) pada waktu itu merupakan refleksi kritis terhadap sistem dan ilmu ekonomi yang “keliru”, serta mulai menyimpang dari jati diri dan realitas sosial-ekonomi bangsa (rakyat) Indonesia.
Gagasan ini telah memicu polemik terbuka yang melibatkan tokoh-tokoh ekonomi/politik dalam dan luar negeri (William Liddle, Peter Me. Cawley, jurnal BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), dan FEER (Far Eastern Economic Review)). Namun, perhatian terhadap gagasan Sistem Ekonomi Pancasila makin melemah karena tidak didukung oleh rezim Orde Baru, yang ditopang teknokrat ekonomi berhaluan Neo-Liberal.
![]() |
Pengertian, Landasan, Prinsip, Konsep, Sistem Ekonomi Pancasila |
Dasar Pemikiran Sistem Ekonomi Pancasila
Sistem Ekonomi Pancasila digali berdasar pemikiran bahwa Sistem Ekonomi sangat terkait dengan ideologi, sistem nilai dan sosial-budaya (kelembagaan) masyarakat di mana sistem itu dikembangkan. Mubyarto menyatakan dengan jelas bahwa ekonomi Pancasila merupakan Sistem Ekonomi yang khas (berjati-diri) Indonesia, yang digali dan dikembangkan berdasar kehidupan ekonomi riil (real-life economy) rakyat Indonesia.
Karakter Unik Ekonomi Indonesia
Bangsa Indonesia memiliki variasi suku, budaya, agama. Bahasa dan kehidupan yang beragam. Tidak hanya itu saja, kondisi sosial ekonomi Indonesia memiliki karakteristik yang unik, karena didalamnya hidup dwi karakter, seperti adanya golongan yang sejahtera dan golongan yang miskin, adanya golongan pendidikan tinggi dan terdapat juga yang buta huruf, terdapat industri besar bertaraf internasional dan ada juga kelas UKM. Sebagai suatu sistem ekonomi, maka Sistem Ekonomi Pancasila (SEP) dituntut untuk mampu mewadahi semuanya. SEP tidak bisa kemudian berlaku arogan dengan memukul rata semuanya dengan membuat aturan yang ketat layaknya sistem ekonomi sosialis komunis, atau menggunakan ideologi yang mengarah kapitalis dengan kebebasan bersaing dalam pasar.
SEP dituntut untuk bersikap demokratis seperti demokratisnya kehidupan politik Indonesia yang tidak menerima sifat dan sikap otoriter ataupun liberal. (Tjakrawerdaja, hal 35, 2016). Kehidupan yang majemuk dan beragaram baik tingkatan level kedudukan maupun jenis/ragam budaya secara horizontal inilah yang membuat Indonesia terbukti tidak pas jika harus menerapkan paham-paham individualism. Sebaliknya individu juga memiliki hak untuk mengembangkan kreativitas dan cara berpikirnya. (Tjakrawerdaja, hal 35, 2016).
Cara pandang bangsa Indonesia berbeda dengan cara pandang bangsa lain (paham sosialis dan kapitalis). Suku-suku bangsa di nusantara berpandangan bahwa seorang manusia itu tersusun secara kodrati atas jiwa dan raga serta jasmani dan rokhani dan dalam kehidupannya berperilaku sebagai makhluk individu sekaligus juga makhluk sosial. Artinya secara kodrat manusia normal itu harus hidup bermasyarakat sehingga kehidupannya memiliki arti. (Tjakrawerdaja, hal 61, 2016). Suku-suku bangsa di nusantara memandang manusia bersifat dwitunggal bersifat individu juga bersifat sosial.
Maksud Negara Kekeluargaan Dalam Sistem Ekonomi Pancasila
Dari sini muncul kata negara kekeluargaan, “kekeluargaan” merupakan kata sifat dari “keluarga” yang menggambarkan suatu hubungan antara manusia yang erat dalam kehidupannya, yang saling mengharga dan menghormasi kepentingan sesame dan juga yang merelakan kepentingan dirinya demi kesejahteraan bersama. Pandangan suku-suku bangsa di Nusantara yang begitu beragam, tempat individu dalam pergaulan dapat dilukiskan dengan indah, sebagai “Kesatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan”. (Tjakrawerdaja, hal 62, 2016).
Ekonomi Pancasila berpijak pada kombinasi antara gagasan-gagasan normatif dan fakta-fakta empirik yang telah dirumuskan oleh founding fathers bangsa dalam wujud sila-sila dalam Pancasila, Pembukaan UUD 1945, dan pasal-pasal (ekonomi) UUD 1945 (asli), yaitu pasal 27 (ayat 2), 31, 33, dan 34. Ekonomi Pancasila adalah Sistem Ekonomi yang mengacu pada sila-sila dalam Pancasila, yang terwujud dalam lima landasan ekonomi, yaitu ekonomi moralistik (ber-Ketuhanan), ekonomi kemanusiaan, nasionalisme ekonomi, demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan), dan diarahkan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sistem Ekonomi Indonesia Dalam UUD 1945
- Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
- Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
- Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan pasal tersebut, tercantum dasar demokrasi ekonomi, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran perorang. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Bentuk usaha yang sesuai dengan prinsip tersebut adalah koperasi. Konsep Sistem Ekonomi yang berdasarkan pasal tersebut menempatkan negara pada pelindung dan pembangun perekonomian yang dikuasai dan mampu dikendalikan oleh rakyat. Itulah Sistem Ekonomi Pancasila.
Meskipun sebenarnya Pancasila banyak digunakan dalam tertib hukum Indonesia akan tetapi kemampuan Pancasila untuk menjadi rujukan dalam bidang ekonomi tidak dapat diragukan. Pancasila bersama dengan sila-sila yang ada didalamnya memiliki tiga sifat utama yaitu universal, kolektif dan khusus yang dijelaskan oleh Notonegoro (Kaelan dan Achmad Zubaidi, 2007) sebagai berikut (Tjakrawerdaja, Hal 20, 2016):
Sifat Utama Universal Pancasila
- Umum universal, Pancasila bersama dengan seluruh sila-sila menjadi pangkal dalam pelaksanaan kegiatan bernegara dan tertib hukum Indonesia
- Sifat umum dan kolektif, bahwa Pancasila dengan seluruh sila-sila yang ada didalamnya menjadi pedoman umum negara dan tertib hukum Indonesia
- Sifat khusus dan konkrit, bahwa nilai Pancasila dapat diwujudkan dalam realisasi praktis dalam berbagai bidang kehidupan sehingga memiliki sifat khusus, kongkrit dan dinamis.
Berdasarkan hal tersebut sangat mungkin bahwa Pancasila juga dapat menjadi dasar dalam pelaksanaan perekonomian di Indonesia. Dengan penerapan SEP dalam sistem ekonomi Indonesia berimplikasi bahwa cara untuk menentukan kebijakan yang akan dilakukan adalah dengan cara musyawarah, termasuk dalam mengatur apa, bagaimana dan kepada siapa barang ekonomi ditentukan, diproduksi dan didistribusikan. (Tjakrawerdaja, hal 61,2016)
B. PRINSIP DAN PLATFORM SISTEM EKONOMI PANCASILA
Secara khusus, terdapat lima prinsip penerapan Sistem Ekonomi Pancasila, yaitu: Pertama, roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral. Kedua, ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial, yaitu tidak membiarkan terjadinya dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial. Ketiga, semangat nasionalisme ekonomi; dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri. Keempat, demokrasi ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan: koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat. Kelima, keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggung jawab, menuju perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Suandi, 2005).
Platform Sistem Ekonomi Pancasila
Dalam hal ini, Sistem Ekonomi Pancasila ditopang oleh lima platform (sub-sistem) yang membentuk satu kesatuan sistemik yang bersifat holistik. Sila Ketuhanan dan Kemanusiaan adalah dasar (landasan) sistemnya, sila Persatuan dan Kerakyatan merupakan cara (operasionalisasinya), dan sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan tujuan yang hendak dicapainya. Mengacu pada rumusan Sistem Ekonomi Pancasila Prof Mubyarto (BPFE, 2002), maka dapat dikemukakan bahwa platform (pilar) Sistem Ekonomi Pancasila tersebut meliputi ekonomika etik dan ekonomika humanistik (dasar), nasionalisme ekonomi dan demokrasi ekonomi (cara/metode operasionalisasi), dan ekonomi berkeadilan sosial (tujuan):
1. Ekonomika Etik
Ekonomik etik yang mengandung prinsip "roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral". Pada awalnya founding fathers kita merumuskan ‘politik kemakmuran’, ‘keadilan sosial’, dan ‘pembangunan karakter’ (character building) bangsa yang dilandasi semangat penerapan ajaran moral dan agama. Itu berarti pembangunan ekonomi harus beriringan dengan pembangunan moral atau karakter bangsa, dan ditujukan untuk menjamin keadilan antar sesama makhluk ciptaan Allah, tidak sekedar pembangunan materiil semata.
Kondisi itu menegaskan perlunya ‘revolusi moral ekonomi’ menuju pengejawantahan platform Sistem Ekonomi Pancasila, yang bermoral dan tidak sekuler. Hal ini ditempuh melalui upaya-upaya serius dan konsisten untuk melakukan penegakan hukum terhadap praktek-praktek ekonomi yang mengabaikan nilai moral dan sosial seperti pemberantasan korupsi, illegal logging, penyelundupan, perjudian, dan pornoaksi.
2. Ekonomika Humanistik
Ekonomika humanistik yaitu : “kemerataan sosial, yaitu ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial, tidak membiarkan terjadi dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial”. Gagasan ini sudah lama tertuang dalam bagian penjelasan Pasal 33 UUD 45 yang sudah diamandemen dalam konsep ‘kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang’. Namun hinggka kini ketimpangan sosial-ekonomi susah untuk diperkecil. Di puncak piramida yang menguasai mayoritas kue nasional dihuni segelintir manusia. Sebaliknya, di dasar piramida yang kuenya kecil diperebutkan puluhan juta orang.
Ekonomika humanistik berfungsi sebagai platform ekonomi yang memperjuangkan pemerataan dan moral kemanusiaan melalui upaya- upaya ‘redistribusi pendapatan, aset, dan kekayaan. Hal ini ditempuh melalui optimalisasi penarikan dan penyaluran zakat dan pajak, dan instrumen-instrumen redistribusi pendapatan lainnya.
3. Nasionalisme Ekonomi
Nasionalisme ekonomi di mana “nasionalisme ekonomi; bahwa dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri”. Kemandirian bukan saja menjadi cita-cita akhir pembangunan nasional, melainkan juga prinsip yang menjiwai setiap proses pembangunan itu sendiri. Ini mensyaratkan bahwa pembangunan ekonomi haruslah didasarkan pada kekuatan lokal dan nasional untuk tidak hanya mencapai ‘nilai tambah ekonomi' melainkan juga ‘nilai tambah sosial-kultural’, yaitu peningkatan martabat dan kemandirian bangsa (Swasono, 2003).
Pokok perhatian seharusnya diberikan pada upaya pemberdayaan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Pemerintah tidak perlu ragu melakukan proteksi, seperti halnya terhadap komoditas pertanian, dan menolak agenda-agenda liberalisasi perekonomian jika itu dilakukan untuk mendukung ketahanan ekonomi nasional. Upaya ini perlu didukung melalui kampanye intensif penggunaan produk-produk dalam negeri yang berbasis sumber daya ekonomi lokal dan produksi ekonomi rakyat.
Privatisasi BUMN strategis harus dihentikan, begitu juga dengan liberalisasi perdagangan (impor) yang merugikan pelaku ekonomi rakyat, khususnya petani dan industri kecil dalam negeri. Pasar bebas hanyalah nonsense belaka. Benar ungkapan Joan Robinson bahwa “the very nature of economics is rooted in nationalism".
4. Demokrasi ekonomi
Demokrasi ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat". Prinsip ini dijiwai oleh semangat Pasal 33 UUD 1945 yang kini sudah berganti menjadi UUD 2002 (amandemen keempat). Perubahan ini telah menghilangkan seluruh penjelasan UUD 1945 termasuk penjelasan Pasal 33 yang berisikan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi dan landasan konstitusional koperasi.
Dengan platform ini kita berusaha keras untuk mengembalikan hakekat demokrasi ekonomi atau sistem ekonomi kerakyatan dengan ciri ‘produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat’. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan masyarakat (melalui koperasi) dalam pemilikan faktor-faktor produksi dan partisipasi luas mereka dalam proses-proses produksi, distribusi, dan konsumsi nasional. Dalam hal ini termasuk peningkatan peranan koperasi dan peranan pekerja dalam kepemilikan saham dan pengambilan keputusan perusahaan.
Secara garis besar sasaran pokok demokrasi ekonomi meliputi penciptaan peluang kerja, terselenggaranya sistem jaminan sosial bagi penduduk miskin, pemerataan modal material, terselenggaranya pendidikan gratis (murah), dan kesempatan mendirikan serikat-serikat ekonomi. Perjuangan mewujudkan sasaran pokok demokrasi ekonomi tersebut dapat dimulai dari ranah konstitusi melalui pengembalian Pasal 33 UUD 1945 sesuai aslinya (plus substansi penjelasannya). Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi hendaknya menjadi “penjaga gawang” demokrasi ekonomi, sehingga tidak meloloskan setiap Undang-Undang yang beraroma privatisasi hajat hidup orang banyak dan bertendensi menggusur daulat rakyat menjadi daulat pasar sepertihalnya yang sudah dilakukan dalam kasus UU Sumber Daya Air, UU Migas, dan UU Ketenagalistrikan.
5. Ekonomi Berkeadilan Sosial
Ekonomi Berkeadilan Sosial yaitu : “keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tujuan keadilan sosial juga mencakup keadilan antar wilayah (daerah), yang memungkinkan seluruh wilayah di Indonesia berkembang sesuai potensi masing-masing.
Sentralisasi Politik-Ekonomi Era Orde Baru
Pengalaman pahit sentralisasi politik-ekonomi era Orde Baru dapat kita jadikan pelajaran untuk menyusun strategi pembangunan nasional. Inilah substansi Negara Kesatuan yang tidak membiarkan terjadinya ketimpangan sosial-ekonomi antardaerah melalui pemusatan aktivias ekonomi oleh pemerintah pusat, dan di pusat pemerintahan. Paradigma yang kemudian dibangun adalah pembangunan Indonesia, bukannya pembangunan di Indonesia seperti yang dilakukan Orde Baru dengan paham developinentalism yang netral visi dan misi (Swasono, 2003).
Demikian secara garis besar agenda menuju Sistem Ekonomi Pancasila adalah meletakkan landasan moral dalam perekonomian etik dan humanistik), memerdekakan ekonomi nasional dari hisapan modal internasional (nasionalisme ekonomi), membebaskan pelaku ekonomi rakyat dari sub-ordinasi dan eksploitasi oleh pemodal besar (demokrasi ekonomi), yang kesemuanya diorientasikan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan pemerintah yang berorientasi Ekonomi Pancasila mestinya adalah kebijakan ekonomi yang memprioritaskan pelaksanaan agenda-agenda tersebut, yaitu agenda ekonomi kerakyatan.
Prinsip Dasar sistem ekonomi pancasila
Prinsip-prinsip dasar sistem ekonomi pancasila oleh para tokoh pendiri bangsa termasuk Bung Hatta sebagai pemikir ekonomi bangsa dimasukkan sebagai material dalam penyusunan UUD 1945. Secara riil hal ini dapat dilihat dari penetapkan judul dari pasal tentang perekonomian nasional dan jaminan sosial, dalam UUD 1945, yaitu Bab XIV Kesejahteraan Sosial. (SEP,hal 163, 2016)
Melihat pada UUD 1945, NKRI yang diharapkan dan sesuai dengan karakteristik bangsa adalah terbentuknya negara kekeluargaan. Artinya negara yang dibangun dengan persatuan seluruh rakyat dengan dua prinsip dasar pertama- bahwa dalam menjalankan pemerintahan dan perekonomian harus diputuskan dengan melibatkan seluruh rakyat dengan mufakat.
Kedua adalah bahwa demokrasi Pancasila memilik dimensi demokrasi politik dan demokrasi ekonomi (SEP,hal 163, 2016). Jika prinsip ini benar-benar dapat terwujud maka benar-benar akan melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebgai negara kekeluargaan yang nyata, bukan negara untuk keluarga kaya tapi keluarga seluruh rakyat Indonesia.
C. KONSEP DAN AGENDA EKONOMI KERAKYATAN
Ekonomi rakyat sering disebut dengan berbagai istilah lain yang terkait, yaitu perekonomian rakyat ataupun ekonomi kerakyatan. Ini mengandung makna yang spesifik. Jika ekonomi rakyat menggambarkan tentang pelaku ekonominya, maka perekonomian rakyat lebih menunjuk pada obyek atau situasinya. Makna yang lebih luas ada dalam ekonomi kerakyatan yang mencerminkan suatu bagian dari sistem perekonomian. Ekonomi kerakyatan ini dapat dikatakan sebagai subsistem dari Sistem Ekonomi Pancasila.
Jika melihat secara harafiah, kata “rakyat” merujuk pada semua orang dalam suatu wilayah atau negara. Dengan demikian jika dilihat dari terminologi ini, maka yang dimaksud dengan ekonomi rakyat adalah ekonomi seluruh rakyat Indonesia. Namun demikian dalam konteks riil yang berkembang, istilah ekonomi rakyat muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap perekonomian nasional yang bias kepada unit-unit usaha besar. Oleh karena itu, makna ekonomi rakyat lebih merujuk pada ekonomi sebagian besar rakyat Indonesia yang umumnya masih tergolong ekonomi lemah, bercirikan subsistem (tradisional) dengan modal dan tenaga kerja keluarga serta teknologi sederhana.
Sifat Ekonomi Konglomerat Dalam Ekonomi Pancasila
Ekonomi rakyat dibedakan dari ekonomi konglomerat dalam sifatnya yang tidak kapitalistik. Ekonomi konglomerat yang kapitalistik menomorsatukan pengejaran keuntungan tanpa batas dengan cara bersaing, kalau perlu saling mematikan (free fight competition). Sebaliknya, dalam perekonomian rakyat semangat yang lebih menonjol adalah bekerja sama, karena hanya melalui kerja sama berdasar asas kekeluargaan tujuan usaha dapat dicapai (Mubyarto, 1998: 40-46).
Bagaimana dengan pengertian Ekonomi Kerakyatan yang banyak menjadi wacana dalam pembangunan ekonomi Indonesia satu dasawarsa terakhir ini? Tidak mudah membuat suatu batasan tentang ekonomi kerakyatan dengan hanya melihat dari sisi harafiah atau terminologi bahasanya saja karena kalau dilihat dari pelaku-pelaku ekonomi yang ada, baik itu unit usaha kecil, menengah, besar ataupun konglomerat, semuanya adalah "rakyat Indonesia".
Artinya aktivitas produksi, konsumsi, dan distribusi itu juga dilakukan oleh rakyat namun nafas dari ekonomi kerakyatan belakangan ini tidaklah demikian. Kesan yang kuat adalah adanya keinginan agar dalam pembangunan ekonomi keterlibatan rakyat banyak diperbesar atau ditingkatkan. Dengan dasar itu, maka dapat dikatakan bahwa makna "ekonomi kerakyatan" tersebut adalah suatu perekonomian yang orientasinya pada keterlibatan orang banyak dalam aktivitas ekonomi, baik aktivitas produksi, konsumsi, maupun distribusi..
Ekonomi Rakyat Versi Ginandjar
Ginandjar Kartasasmita, dalam pidato penerimaan gelar Doctor Honoris Causa dari UGM (April 1995) menyuratkan bahwa yang dimaksud ekonomi rakyat adalah: "ekonomi sebagian besar rakyat Indonesia". Dengan pengertian di atas maka yang diharapkan adalah bahwa aktivitas-aktivitas di sektor industri, pertanian, pertambangan, jasa-jasa, dan sebagainya, melibatkan rakyat banyak untuk melakukannya. Ada kebebasan masyarakat untuk ikut bekerja atau menjadi pengusaha pada sektor-sektor itu, atau di lapangan-lapangan usaha yang ada.
Tidak ada sektor produksi yang diperuntukkan bagi satu atau segelintir pengusaha. Mereka yang terlibat dalam aktivitas itu berhak pula untuk memperoleh penghasilan ataupun upah yang layak untuk membiayai konsumsinya. Artinya, berbagai penghasilan atau keuntungan dari segala penerimaan aktivitas ekonomi bisa dinikmati oleh sebagian besar rakyat yang terlibat dalam produksi itu. Termasuk dalam pengertian ini adalah adanya suatu pola distribusi yang adil sebagai akibat adanya aktivitas produksi di atas. Jadi, perkembangan produksi atau output nasional yang terus meningkat, yang tercermin dari melajunya PDB, selayaknya dinikmati oleh rakyat banyak tersebut (Suandi, 2005).
Agenda-agenda ekonomi kerakyatan mengacu pada sistem ekonomi Pancasila dan amanat konstitusionalnya dengan begitu paling tidak dapat ditekankan pada demokratisasi modal institusional (kelembagaan ekonomi rakyat) melalui penguatan organisasi koperasi, demokratisasi modal material melalui pengembangan lembaga keuangan mikro (kredit rakyat), dan demokratisasi modal intelektual melalui pembangunan manusia dan sistem jaminan sosial,
D. DEMOKRATISASI MODAL INSTITUSIONAL MELALUI KOPERASI
1. Pengertian dan Prinsip Koperasi
Sebagian besar dari kita pasti telah akrab dengan bentuk badan sosial- ekonomi yang bernama koperasi. Bahkan sebagian besar dari Anda mungkin pernah menjadi anggota koperasi. Koperasi memang bukan hal baru di Indonesia karena mulai digagas jauh sebelum Indonesia merdeka. Menurut Muhammad Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, koperasi dikonsepsikan sebagai:
“persekutuan kaum lemah untuk membela kepentingan hidupnya. Mencapai keperluan hidupnya dengan ongkos yang semurah-murahnya, itulah yang dituju. Pada koperasi didahulukan kepentingan bersama bukan keuntungan (Hatta, 1954)”.
2. Pengertian dan Prinsip Koperasi Menurut Edilius dan Sudarsono
Pengertian yang lain diungkapkan oleh Edilius dan Sudarsono:
“Koperasi adalah perkumpulan orang, biasanya yang memiliki kemampuan ekonomi terbatas, yang melalui suatu bentuk organisasi perusahaan yang diawasi secara demokratis, masing-masing memberikan sumbangan yang setara terhadap modal yang diperlukan, dan bersedia menanggung resiko serta menerima imbalan yang sesuai dengan usaha yang mereka lakukan (ILO, 1993)”.
Berdasarkan dua pengertian koperasi tersebut, kita dapat merumuskan unsur-unsur utama dalam koperasi, yaitu ( disarikan dari Swasono, 2004:114- 116):
- Adanya sekelompok anggota masyarakat yang memiliki “kepentingan bersama”.
- Mereka bertemu secara sukarela dan terbuka.
- Mereka bersepakat bekerjasama menolong diri sendiri secara bersama- sama.
- Pembentukan koperasi bersifat bottom up.
- Koperasi adalah wadah bersama yang dimiliki secara bersama (koperasi adalah kumpulan orang yang sama harkat dan martabatnya, satu orang satu suara).
- Anggota koperasi merupakan pemilik sekaligus pelanggan.
- Koperasi tidak bertujuan mencari laba tetapi mencari keuntungan untuk para anggotanya.
- Kesadaran pribadi dan kesetiakawanan merupakan landasan mental koperasi.
- Koperasi bertujuan untuk menyatukan kekuatan-kekuatan kecil menjadi kekuatan bersama yang bersifat mandiri.
Jadi sebuah koperasi hendaknya dibentuk dengan latar belakang keadaan- keadaan tersebut. Koperasi adalah upaya bersama yang ditujukan untuk kepentingan bersama tanpa menghilangkan peranan pribadi karena masing- masing anggota memiliki hak untuk berperan serta. Koperasi memiliki prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman pokok dalam menjalankan koperasi. Di Indonesia, prinsip dasar koperasi dituangkan dalam UU No. 25/1992, yaitu:
1. Keanggotaan bersifat suka rela dan terbuka
Setiap warga negara Indonesia yang telah mampu melaksanakan tindakan hukum serta mampu memenuhi syarat-syarat keanggotaan koperasi tertentu berhak menjadi anggota koperasi. Keanggotaan koperasi harus dilandasi dengan kesadaran memperbaiki nasibnya dengan berpartisipasi secara aktif.
2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis
Setiap pengambilan keputusan dalam koperasi sebisa mungkin melibatkan sebanyak mungkin anggota. Prinsip kebersamaan dan kesamaan merupakan hal yang penting dalam koperasi. Prinsip demokrasi ini berkaitan dengan pendirian yang dilakukan oleh semua anggota, dijalankan oleh anggota yang cakap dan diawasi oleh anggota yang mampu.
3. Pembagian Sisa Hasil Usaha dilakukan dengan adil
Sisa Hasil Usaha (SHU) merupakan hal yang istimewa dalam koperasi. Setiap anggota berhak mendapatkan SHU sesuai dengan jasa usahanya masing-masing. Semakin besar partisipasinya dalam koperasi maka semakin besar pula SHU yang berhak ia terima.
4. Pemberian balas jasa yang terbatas pada modal
Dalam koperasi terdapat pembatasan bunga pada modal sehingga anggota yang lemah tidak semakin lemah tetapi tertolong oleh anggota yang kuat. Semua itu didasarkan pada semangat kesetiakawanan dan tolong menolong.
5. Kemandirian
Koperasi harus memiliki usaha dan akar yang kuat dalam masyarakat. Koperasi harus menjadi bagian dari masyarakat, untuk itu koperasi harus ditujukan untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Prinsip-prinsip tersebut di atas selalu ada di seluruh koperasi di dunia. Beberapa koperasi menambahkan prinsip-prinsip tertentu seperti pendidikan, netralitas, cara pembayaran dan sebagainya karena disesuaikan dengan tujuan koperasi yang akan mereka dirikan. Namun tidak ada prinsip tambahan yang bertentangan dengan prinsip dasar di atas.
3. Masalah Struktural dan Agenda Koperasi Indonesia
Kegagalan koperasi menjadi sokoguru perekonomian Indonesia disebabkan oleh berbagai masalah struktural. Pertama, deregulasi yang dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1983-1988 memberikan prioritas untuk sektor perbankan dan ekspor impor. Akibat deregulasi tersebut sektor perbankan memiliki kekuasaan yang sangat besar hingga dapat menetapkan suku bunga sendiri. Sedangkan sektor industri mendapatkan kemudahan memperoleh dana investasi, bahan baku, dan bahan baku penolong dari luar negeri.
Koperasi sendiri tidak dapat memanfaatkan deregulasi tersebut, terutama koperasi yang bergerak di sektor pertanian. Koperasi tidak mampu bersaing dengan sektor perbankan dan industri yang bergerak pesat karena kemudahan dari pemerintah. Hal yang diperlukan koperasi adalah debirokratisasi sehingga ia dapat bergerak lebih lincah dan mandiri tanpa dibebani dengan peraturan dan pengaturan dari pemerintah seperti kemudahan yang didapat sektor perbankan dan industri.
Masalah kedua berkaitan dengan anggapan bahwa KUD adalah instansi pemerintah yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Sesuai dengan Inpres, KUD adalah “satu-satunya” organisasi petani yang baik. Tujuannya agar KUD dapat digunakan sebagai alat penyedia dukungan politik terhadap rezim Orde Baru karena itu KUD dibebani banyak penugasan yang secara ekonomis tidak menguntungkan sehingga KUD lebih sibuk menjalankan penugasan tersebut daripada melayani anggotanya. Hal yang dibutuhkan KUD adalah kelonggaran agar dapat berbisnis secara leluasa tanpa dibebani “misi” tertentu dari pemerintah. Selain itu, sebaiknya pemerintah mengembangkan koperasi-koperasi lain selain KUD karena pada dasarnya KUD terlalu kecil untuk melayani anggota yang letaknya jauh dari kota kecamatan.
Masalah ketiga yang dihadapi koperasi di Indonesia adalah berkembangnya konglomerasi. Deregulasi yang dibuat oleh pemerintah memungkinkan berdirinya asosiasi-asosiasi pengusaha yang bertujuan “memperlancar” hubungan dengan pemerintah. Asosiasi tersebut memang pada akhirnya menjadi “pahlawan” karena berperan mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, keberadaan asosiasi tersebut memberi dampak buruk terhadap koperasi. Keberadaan asosiasi tersebut membuat pemerintah lebih memperhatikan kepentingan pengusaha besar daripada koperasi. Padahal jika dilihat lebih dalam, pertumbuhan ekonomi tidak akan banyak gunanya tanpa dibarengi dengan pemerataan ekonomi. Konglomerasi sama sekali tidak dapat menjawab masalah pemerataan ekonomi bangsa ini. Hal ini diperparah dengan penerapan agenda-agenda liberalisasi ekonomi melalui privatisasi. Konglomerasipun makin kokoh menjelma menjadi korporatokrasi.
Selama ini meskipun tertuang secara nyata dalam UUD 1945, bangsa Indonesia justru mengingkari koperasi. Pemerintah justru memberi keistimewaan pada sektor swasta yang terbukti gagal menjadi soko guru perekonomian. Sektor swasta terbukti rentan terhadap gejolak moneter, sehingga justru membebani keuangan negara. Selain itu sektor swasta yang dianggap menjadi “pahlawan” pertumbuhan ekonomi tidak otomatis dapat menjamin pemerataan kesejahteraan. Kondisi seperti itu dapat menimbulkan gejolak sosial yang berbahaya bagi keutuhan bangsa.
Deregulasi memungkinkan koperasi menjadi besar karena dapat meningkatkan skala produksi yang melibatkan lebih banyak anggota. Koperasi tidak hanya menjadi sebuah organisasi kecil tetapi organisasi besar yang menopang industri unggulan dalam negeri. Lebih dari itu, koperasi yang cukup besar dan kuat akan memungkinkan ia memiliki saham perusahaan, tidak hanya saham perusahaan swasta tetapi juga perusahaan pemerintah (BUMN). Hal ini dapat dilakukan mengacu pada prinsip Triple-Co, yaitu pemilikan bersama (co-ownership), penentuan bersama (co-determinan f), dan tanggung jawab bersama (co-responsibility). Melalui berbagai deregulasi tersebut pada akhirnya anggota/masyarakatlah yang menikmati keuntungan dari berjalannya usaha koperasi dan usaha perusahaan swasta atau pemerintah. Keadaan tersebut memungkinkan adanya pemerataan pendapatan sehingga kesejahteraan bersama dapat terwujud.
E. DEMOKRATISASI MODAL MATERIAL MELALUI KREDIT RAKYAT
1. Masalah Pengembangan Kredit Rakyat
Pengembangan ekonomi rakyat merupakan cara untuk menanggulangi kemiskinan ini. Menanggulangi kemiskinan berarti memberikan akses pada si miskin untuk bisa terlibat dalam produksi dan distribusi tersebut. Namun demikian, keterbatasan aset produktif yang dimiliki dan keterbataan pendidikan serta ketrampilan telah membatasi si miskin untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi ini.
Salah satu upaya tersebut misalnya memberikan akses dalam mendapatkan fasilitas finansial, seperti kredit mikro dari sektor perbankan. Sejauh ini alokasi kredit yang diberikan kepada bank-bank lebih banyak masuk ke sektor modern, yang secara relatif hanya sebagian kecil masyarakat menggelutinya. Tabel 6.1 menunjukkan tentang distribusi secara sektoral kredit perbankan.
Tabel 6.1
Kredit Perbankan Berdasarkan Sektor 1995-2002 (dalam milyar Ffc>)
Tabel di atas mencerminkan "wajah" distribusi perkreditan yang dilakukan perbankan di tanah air yang hanya dinikmati sebagian kecil rakyat. Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa sektor ekonomi rakyat banyak, yakni pertanian hanya menikmati sebagian kecil dari porsi kredit yang ada. Sektor industri, perdagangan dan jasa-jasa, walaupun hanya menampung relatif sedikit tenaga kerja, merupakan penyerap terbanyak dari kredit perbankan nasional. Dan dapat diduga bahwa nilai terbesar dari kredit tersebut juga tidak merata di kalangan usaha industri/perdagangan/jasa tersebut, karena hanya sebagian kecil saja yang memanfaatkan kredit bernilai besar dari bank-bank yang ada.
Gambaran demikian sebenarnya tidaklah menjadi terlalu jelek apabila memang sektor-sektor kecil itu tidak membutuhkan dana untuk pengembangan usaha atau peningkatan produksinya. Namun kenyataannya adalah tidak selalu demikian. Persoalan yang masih sering dihadapi adalah masalah akses untuk mendapatkan kredit itu sendiri, yang memang tidak gampang bagi usaha-usaha kecil atau mereka yang bekerja di sektor-sektor informal.
Akibatnya, mereka terpaksa meminjam kepada lembaga keuangan informal, atau kepada lembaga keuangan formal semacam B PR, yang tingkat bunganya lebih tinggi dari tingkat bank umum tersebut. Hal ini menjadi sangat ironis, karena unit-unit usaha kecil dan miskin tersebut terpaksa menanggung biaya produksi yang tinggi, sementara unit-unit usaha besar yang telah banyak memperoleh berbagai fasilitas dan perlindungan, bisa memperoleh tingkat bunga yang rendah, yang berarti pula bisa berproduksi dengan biaya relatif rendah tersebut.
Jika dilihat para pelaku ekonomi di tanah air, maka alokasi kedit yang demikian secara nyata menunjukkan ketidakmerataan dan ketidakadilannya karena pelaku ekonomi di tanah air sebagian besar bukanlah unit-unit usaha besar ataupun kelas konglomerat, melainkan adalah unit-unit usaha kecil yang jumlahnya lebih dari 90 persen dari total pelaku ekonomi nasional. Hal inilah yang mengarahkan kita pada pentingnya alokasi kredit berskala mikro dan kecil untuk memberdayakan para pelaku ekonomi tersebut. Dengan adanya bantuan kredit tersebut diharapkan akses mereka menjadi semakin terbuka dalam aktivitas ekonomi, dan mengangkat mereka yang masuk kategori miskin ke jenjang pendapatan yang lebih wajar dan manusiawi. Artinya, mereka bisa diangkat dari lembah kemisknan absolut tersebut melalui kebijakan yang mengarahkan mereka terlibat aktif dalam kegiatan ekonomi tersebut.
Peran penting lain dari ekonomi rakyat adalah dalam penyerapan tenaga kerja, yang sangat terkait dengan permasalahan kemiskinan. Masalah kekurangan kapital (investasi) yang dihadapi Indonesia dipecahkan dengan pola investasi yang padat tenaga kerja. Data empirik menunjukkan dengan investasi terbatas unit usaha ekonomi rakyat bisa menciptakan lebih banyak unit usaha dan juga kesempatan kerja.
Ekonomi (sebagian besar) rakyat Indonesia sejauh ini masih memberikan sumbangan relatif kecil dalam output nasional, demikian pula pangsa pasar yang dikuasainya. Namun demikian dari sisi jumlah pelakunya atau unit usaha serta penyerapan tenaga kerjanya ternyata sangat dominan dibanding ekonomi usaha besar dan konglomerat (UBK).
Tabel 6.2
Rata-rata Investasi Kegiatan Ekonomi (2000-2003)
Tabel di atas menyiratkan bahwa dengan investasi relatif sedikit, usaha- usaha kecil yang merupakan usaha sebagian besar rakyat Indonesia, bisa membantu memecahkan masalah pengangguran. Sebagaimana ditunjukkan Tabel 6.2. unit usaha kecil rata-rata hanya membutuhkan investasi Rp. 1,5 juta per unit usaha per tahun, dan untuk usaha menengah adalah Rp. 1,3 miliar per usaha per tahun. Jadi, jika unit usaha besar dengan investasi Rp.91,4 miliar hanya bisa menciptakan satu unit usaha, maka dengan investasi yang sama bisa diciptakan 61 ribu unit usaha baru pada di usaha kecil. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dari sisi pelakunya sebagian besar pelaku ekonomi Indonesia tergolong usaha menengah dan kecil, termasuk usaha mikro.
Banyaknya unit usaha yang bisa diciptakan dengan investasi terbatas di usaha kecil, mencerminkan juga banyaknya kesempatan kerja baru yang dapat diciptakannya jika unit usaha tersebut didorong untuk tumbuh dan berkembang. Dengan data di atas dapat dikemukakan bahwa unit usaha kecil dan menengah bisa lebih diharapkan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran. Oleh karena itu pengurangan pengangguran membutuhkan perubahan paradigma pembangunan yang tidak bias pada skala usaha besar (padat modal), melainkan sebaliknya untuk lebih memberi kesempatan lebih banyak pada unit usaha ekonomi rakyat, yakni unit usaha kecil, termasuk usaha mikro, dan menengah.
Tabel 6.3
Struktur Ekonomi Indonesia (dalam persen)
Dari Tabel di atas terlihat, unit usaha besar yang jumlahnya hanya 0,2 persen menguasai lebih dari 60 persen PDB. Pangsa pasarnya lebih besar lagi, yakni mencapai 80 persen, yang berarti hanya menyisakan 20 persen untuk 99,8 persen pelaku ekonomi di tanah air. Ketimpangan lain ditunjukkan dalam sumbangannya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Segelintir unit usaha besar tersebut merupakan “mesin” pertumbuhan yang memberi andil 83,6 persen atas laju perekonomian Indonesia.
Ketimpangan yang demikian tinggi berpotensi untuk munculnya kecemburuan sosial, yang bukan saja mengancam semua pelaku ekonomi tersebut, melainkan juga stabilitas dalam masyarakat. Unit usaha besar juga tidak bisa bertahan lama apabila potensi pasar dari UKMK (termasuk usaha mikro) tidak berkembang. Apalagi jika dilihat karakteristik UBK di tanah air yang sangat tinggi konsentrasinya, namun orientasi ekspornya sangat rendah, atau dikenal dengan istilah “jago kandang”.
Dapat dikatakan bahwa fondasi ekonomi Indonesia sejak lama sebenarnya adalah berbasiskan perekonomian rakyat. Dilihat secara absolut, dari 39,72 juta unit usaha (1972), sebanyak 39,71 juta merupakan sektor ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat ini juga yang mampu bertahan pada saat krisis ekonomi terjadi. Angka yang ada menunjukkan pada saat krisis jumlah UKMK ini justru bertambah dari 99,8 persen menjadi 99,9 persen , dan sumbangannya terhadap PBD juga naik dari 39,8 persen menjadi 59,36 persen . Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau ekonomi rakyat sering diberi predikat sebagai “katup pengaman perkonomian nasional”. Namun demikian dalam realitas kebijakan publik, ekonomi rakyat ini pula yang seolah selalu tersia-sia, kurang mendapat perhatian/perlindungan, dan juga tidak dipercaya. Fasiltas yang diberikan pada usaha kecil sangat terbatas.
2. Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro
Krisis moneter 1997/1998 telah membuka kesadaran masyarakat Indonesia akan rapuhnya tatanan/sistem keuangan yang setelah liberalisasi keuangan (Pakto 1988) didominasi oleh banyak bank dalam skala besar. Terjadinya krisis juga membuat masyarakat paham bahwa perbankan nasional lebih banyak melayani pengusaha skala besar (konglomerat), yang sayangnya tidak bertanggung jawab dan berlindung di balik fasilitas (kemudahan) dari pemerintah. Bermula dari kegagalan sistem keuangan konvensional (yang liberal) tersebut saat ini mulai banyak dikembangkan pemikiran dan praktek lembaga keuangan mikro (LKM). LKM sudah memiliki akar sejarah yang cukup panjang di Indonesia. Beragam model perkumpulan arisan (simpan pinjam) yang dikembangkan di banyak daerah perdesaan merupakan contoh bahwa masyarakat kita sudah lekat dengan tradisi keuangan mikro.
Di sektor formal, keberadaan kredit skala kecil (kredit usaha perdesaan) yang dikembangkan BRI juga merupakan salah satu bentuk keuangan mikro yang melayani nasabah pengusaha kecil (miskin). Keuangan mikro juga telah lama dikembangkan melalui pengguliran dana dalam skema program penanggulangan kemiskinan, seperti IDT yang dilaksanakan mulai 1993/1994 selama tiga tahun. Program Takesra/Kukesra dilaksanakan pada tahun berikutnya di desa-desa non-IDT. Sampai saat ini pun program penanggulangan kemiskinan seperti PPK, P2KP, P4K, PDMDKE, dan program lainnya tetap dikembangkan melalui pendekatan keuangan mikro yang telah mengakar dalam tradisi sosial-ekonomi masyarakat. Kebijakan pemerintah yang lebih bias kepada usaha besar telah meminggirkan keuangan mikro, sehingga titik balik reformasi 1998 merupakan berkah bagi kebangkitan keuangan mikro di Indonesia.
Keuangan mikro memang selalu diidentikkan dengan upaya mengembangkan usaha mikro yang sekaligus juga merupakan cara menanggulangai kemiskinan penduduk. Namun begitu, pada saat ini tidak mudah untuk mengenali keterkaitan langsung antara keuangan mikro dengan upaya-upaya menanggulangi kemiskinan melalui program-program yang dikembangkan.
Salah satu masalah mendasar adalah sering tidak tepatnya alokasi dana kepada sasaran orang miskin yang telah ditentukan. Alasan kehati-hatian, mengurangi resiko, dan efisiensi dana sering dijadikan dalih untuk menggeser orientasi alokasi dana ke orang yang dinilai lebih layak (mampu mengembalikan), lebih membutuhkan, dan lebih dapat dipercaya, walaupun dapat ditunjukkan sebenarnya bahwa penduduk miskin tidak memiliki “tradisi ngemplang”, seperti halnya tradisi yang justru ditumbuh-suburkan oleh pengusaha besar (konglomerat) di Indonesia.
Kriteria miskin (yang memang beragam) tidak lagi dipegang sebagai dasar penentuan skala prioritas penyaluran sumber daya keuangan dan pemberdayaan penduduk miskin. Kendala moral memang dihadapi tidak saja oleh pengelola keuangan yang berkecimpung dalam aktivitas sosial-ekonomi masyarakat yang memegang prinsip “sithik eding” atau “dum-dil” (dibagi rata), namun juga oleh banyaknya “orang mampu” di perdesaan yang tidak cukup peka terhadap masalah kemiskinan.
Di sisi lain, dalam aspek legal-formal, batasan mengenai skala usaha juga turut “mengkondisikan” terciptanya ruang-ruang pergeseran makna keuangan mikro dari tujuan/upaya penanggulangan kemiskinan. Walaupun “pengakuan” terhadap usaha mikro (ekonomi rakyat) telah mulai muncul namun pemberlakuan kriteria nilai omzet atau modal usaha mikro masih juga bias kepada “pengusaha besar” sehingga berpotensi menumbuhkan “predator-predator” yang siap berebut “kue pinjaman" berbunga murah, prosedur mudah, dan persyaratan ringan.
Dalam PP No 5/1995 dan UU No 9/1995 misalnya, usaha kecil didefinisikan sebagai usaha dengan kategori omset maksimal I milyar, yang berarti usaha yang beromset Rp. 999 juta pun (nilai yang sangat besar dalam pandangan petani di perdesaan) dapat menikmati fasilitas kredit untuk usaha kecil dengan jumlah yang cukup besar (maksimum Rp 400 juta). Terlebih lagi kriteria BPPN yang mengkategorikan usaha kecil dengan maksimum kredit Rp 10 milyar. Departemen Koperasi dan PKM sendiri mematok kredit untuk usaha kecil maksimal Rp 5 milyar, sedangkan Bank Mandiri menggunakan nilai omset sebesar Rp 360 milyar sebagai patokan .
Dalam berbagai tulisan di media juga disebutkan bahwa pengusaha kerajinan dengan pendapatan antara satu hingga dua juta rupiah per bulan diklasifikasi juga sebagai pengusaha mikro. Lalu bagaimana dengan banyaknya penduduk perdesaan (khususnya di Kulonprogo) yang memiliki pendapatan maksimal Rp 500.000 per bulan, atau bahkan 25,1 persen penduduk Kulon Progo yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan kabupaten senilai Rp 105.404,-? Tidakkah usaha 112.246 orang (penduduk miskin di Kulon Progo) kemudian dapat disebut sebagai usaha “super- mikro”? Bagaimana upaya penanggulangan kemiskinan dapat dikatakan berhasil apabila mereka yang diperhatikan dan diberdayakan bukanlah termasuk penduduk yang benar-benar miskin.
Sejauh ini belum ada data-data akurat dari berbagai pengelola program sejauh mana penduduk miskin telah berkurang, kesejahteraannya telah membaik, atau pendapatan mereka telah meningkat setelah dikembangkannya program-program bermodel keuangan mikro di wilayah perdesaan atau perkotaan.
Masalah lain yang dihadapi penduduk miskin adalah ketidakpercayaan akan kemampuan mereka sendiri untuk memanfaatkan sumber-sumber keuangan mikro yang telah disediakan. Di samping kearifan untuk tidak berkeinginan tergantung pada “utang” dari pihak luar, kenyataan ini sebetulnya juga menggambarkan betapa sistem keuangan mikro melalui program penanggulangan kemiskinan menjadi kurang relevan, kurang akrab, atau pendekatan yang mengiringi program tersebut kurang sesuai dengan ciri- ciri penduduk miskin. Pada kenyataannya mereka tetap memerlukan sumber pembiayaan, yang dipenuhi dengan meminjam saudara/tetangga, rumah- rumah gadai, atau perkumpulan arisan.
Selain itu mereka pun tetap merasa “kekurangan dana”, berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar baik sehari-hari maupun insidental, misalnya untuk membayar sekolah anak, berobat, "sumbangan”, dan lain-lainnya. Secara tegas dinyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang berhak untuk memanfaatkan sumber daya keuangan. Keadaan ini memberi pelajaran bahwa keuangan mikro tidak cukup hanya dikembangkan dengan pendekatan profesional (apalagi berorientasi pada pemupukan aset/omset), melainkan dengan pendekatan sosio-antropologis berbasis pada pemihakan dan perhatian tulus kepada penduduk miskin.
Menurut Krisnamurti (2003: 3-4), keuangan mikro dapat menjadi faktor kritikal dalam usaha penanggulangan kemiskinan yang efektif. Peningkatan akses dan pengadaan sarana penyimpanan, pembiayaan dan asuransi yang efisien dapat membangun keberdayaan kelompok miskin dan peluang mereka untuk ke luar dari kemiskinan, melalui:
- tingkat konsumsi yang lebih pasti dan tidak befluktuasi,
- mengelola resiko dengan lebih baik,
- secara bertahap memiliki kesempatan untuk membangun aset,
- mengembangkan kegiatan usaha mikronya,
- menguatkan kapasitas perolehan pendapatannya, dan
- dapat merasakan tingkat hidup yang lebih baik.
Dari berbagai studi yang dilakukan ADB menunjukkan kegiatan keuangan mikro sangat berperan untuk mengurangi kemiskinan. Hasil lengkapnya disajikan pada Tabel 6.4.
Tabel 6.4
Kegiatan Keuangan Mikro dan Dampaknya terhadap Penanggulangan Kemiskinan
Sebagaimana disinggung di muka, salah satu masalah yang banyak dihadapi oleh usaha mikro, kecil, dan menengah adalah berkaitan dengan permodalan. Sumber dana yang digunakan umumnya adalah dari modal sendiri, atau modal keluarga. Sumber dana dari pihak luar umumnya berasal dari lembaga keuangan informal, yang biasanya mengenakan bunga yang tinggi. Hal ini dilakukan karena para pelaku UKMK sulit memenuhi persyaratan yang diminta oleh lembaga keuangan formal. Di samping persyaratan dan prosedur yang dipandang sukar, usaha ekonomi rakyat ini mayoritas dianggap tidak bankable, walaupun dilihat dari kelaikan usaha unit usaha tersebut banyak yang feasible.
Oleh karena itu, dalam konteks dukungan pada ekonomi rakyat ini perlu kebijakan yang tegas untuk membuka akses seluas-luasnya pada unit-unit usaha ekonomi rakyat yang kecil dan mikro. Sebagaimana dikemukakan di atas, hambatan utama bagi unit usaha ini adalah ketiadaan jaminan (collateral). Di sisi lain, perbankan secara ketat menerapkan prinsip prudential banking yang mengharuskan adanya jaminan tersebut. Akibatnya mereka hanya mengandalkan modal sendiri atau dengan meminjam dari pelepas uang dengan tingkat bunga yang sangat tinggi sehingga menyulitkan perkembangan usaha lebih lanjut. Kebijakan yang membuka akses pada lembaga keuangan formal tersebut seharusnya dilakukan secara menyeluruh di tanah air dengan cara
- Menyediakan lembaga keuangan nonbank yang memberi peluang usaha ekonomi rakyat untuk meminjam tanpa jaminan;
- Pemerintah (Pusat/Daerah) membeli premi risiko lembaga keuangan bank; dan dalam jangka panjang kemungkinan mengkaji untuk mengamandemen UU Perbankan yang membuka peluang memberikan pinjaman tanpa jaminan.
Penyediaan kredit tanpa agunan dengan premi risiko yang ditanggung Pemerintah atau Pemkab menyediakan dana kredit untuk UKMK tanpa agunan, sudah mulai disadari dan dilakukan oleh beberapa pemerintahan di daerah. Sejak tahun 2004, misalnya, Pemerintahan di Kabupaten Kutai Barat yang hampir separo penduduknya (2002) miskin, telah mengalokasikan dana kredit tanpa agunan sebanyak Rp.5 miliar untuk UKMK. Ini dapat dikatakan sebagai suatu perubahan paradigma dalam perkreditan UKMK di Kutai Barat.
Pemerintah Kabupaten Kutai Barat menyadari bahwa sebagian unit usaha kecil-menengah ini memiliki keterbatasan modal, tidak mempunyai harta- benda untuk jaminan, atau karena ketiadaan surat-surat formal yang berkaitan dengan kepemilikan harta atau izin usahanya. Pinjaman tertinggi yang diberikan untuk UKMK tersebut mencapai Rp.50 juta. Sedangkan pola pembayaran pinjaman ini juga disesuaikan dengan pola pendapatan/penerimaan masyarakatnya. (Hamid, 2004).
F. PEMBANGUNAN MANUSIA DAN SISTEM JAMINAN SOSIAL
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar, yaitu sebesar 223 juta jiwa pada tahun 2005. Di seluruh dunia Indonesia berada di urutan ke empat negara dengan penduduk terbesar. Meskipun program KB yang mulai dicanangkan pada tahun 1968 terbukti berhasil menekan laju pertambahan penduduk namun karena dari semula penduduk Indonesia memang besar maka pertumbuhan 1,2 persen saja sudah membuat penduduk Indonesia bertambah banyak.
Jumlah penduduk yang sedemikian besar diikuti dengan timbulnya persoalan distribusi yang tidak merata. Lebih dari 82 persen penduduk Indonesia tinggal di Kawasan Barat Indonesia (KBI) yang luasnya tidak lebih dari 20 persen luas negara. Sedangkan sisanya tinggal di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Hal itu terjadi karena pembangunan ekonomi sejak masa kolonial lebih banyak dilakukan di KBI sehingga penduduk Indonesia seringkali melakukan migrasi dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Persoalan ketidakmerataan pembangunan ini yang menyebabkan terjadi berbagai konflik sosial. Pada akhirnya konflik sosial membuat sebagian penduduk mengungsi ke wilayah KBI sehingga ketimpangan distribusi makin mencolok.
Pembangunan manusia Indonesia menghadapi masalah klasik yaitu pendidikan dan kesehatan. Kita harus mengakui bahwa selama ini pemerintah kurang memberi perhatian yang optimal pada kedua bidang tersebut. Terlebih beberapa tahun terakhir ini, pemerintah seperti lepas tangan terhadap dua sektor publik yang mempengaruhi kualitas manusia Indonesia. Seperti yang telah disebutkan pada bagian awal tulisan ini, anggaran yang disediakan pemerintah untuk pendidikan sangat kecil sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan. Rendahnya kualitas manusia Indonesia dapat dilihat berdasarkan lama bersekolah. Penduduk Indonesia rata-rata hanya bersekolah selama 6,7 tahun berdasarkan perhitungan HDI tahun 1999. Angka itu pasti tidak banyak berubah pada tahun-tahun belakangan ini karena pemerintah Indonesia belum melakukan tindakan yang berarti untuk meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air.
Di era Otonomi Daerah seperti sekarang ini, anggaran yang diberikan pemerintah daerah terhadap sektor pendidikan tidak jauh berubah. Di Sumatera Barat, anggaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan hanya 8,2 persen sedangkan di Jawa Timur anggaran untuk sektor yang sama hanya 13,7 persen. Artinya pelaksanaan otonomi daerah ternyata belum membawa banyak manfaat bagi pembangunan manusia Indonesia.
Anggaran pendidikan yang rendah tentu saja mempengaruhi kualitas pendidikan. Pendidikan yang rendah tersebut akan berdampak pada kemampuan dan kreativitas peserta didik. Akibatnya angkatan kerja tidak memenuhi kualifikasi yang diinginkan dunia kerja dan tidak memiliki kemampuan membuka peluang usaha. Padahal di sisi lain kurikulum di Indonesia juga mendapat banyak kritik karena tidak sesuai dengan kebutuhan dunia kerja dan menciptakan pola pikir sebagai pekerja bukan sebagai inisiator. Akibatnya penduduk yang telah mendapatkan pendidikan menengah dan tinggi sekalipun tidak dapat siap bekerja di berbagai sektor pekerjaan. Ketidaksesuaian antara kebutuhan dan kualifikasi angkatan kerja yang ada membuat dunia kerja seringkali mendatangkan tenaga kerja asing yang tentu saja merugikan bangsa Indonesia.
Persoalan pendidikan yang buruk di atas mengakibatkan persoalan kependudukan yang baru yaitu pengangguran. Berdasarkan data BPS terdapat 10 persen angkatan kerja di Indonesia menganggur. Dari jumlah itu sebagian besar penganggur lebih dari 75 persennya tinggal di perkotaan. Hal ini terjadi karena sebagian besar orang melihat kota adalah pusat pertumbuhan ekonomi. Artinya ada banyak kesempatan bekerja, padahal industri di perkotaan gagal memperoleh dampak yang diinginkan seperti perluasan lapangan kerja.
Akibat pola pikir semacam itu, terjadi urbanisasi besar- besaran yang berakibat meningkatnya pengangguran di kota dan kurangnya tenaga kerja pada sektor pertanian di desa. Angkatan kerja baru seringkali lebih menginginkan pekerjaan di sektor industri perkotaan karena dianggap lebih modern daripada bekerja di sektor pertanian di desa.
Persoalan lain yang harus diselesaikan bangsa ini menyangkut pembangunan manusia adalah masalah kesehatan. Setali tiga uang dengan sektor pendidikan, sektor kesehatan juga hanya mendapatkan porsi yang minim dalam anggaran pembangunan pusat dan daerah. Berdasarkan HDI tahun 1999, kondisi kesehatan masyarakat Indonesia sangat buruk.
Penduduk Indonesia yang tidak memiliki akses terhadap air bersih mencapai 51,9 persen, sedangkan penduduk Indonesia yang tidak memiliki akses terhadap jasa kesehatan mencapai 21,6 persen. Akses tersebut meliputi ketersediaan dokter, obat-obatan dan sarana kesehatan lain. Fakta yang lebih memilukan adalah sebanyak 30 persen balita berada dalam gizi buruk. Padahal gizi di masa balita sangat penting bagi pertumbuhan di kemudian hari, karena pada masa-masa itu terjadi puncak perkembangan otak dan tubuh yang pesat.
Belakangan ini kita seringkali dikejutkan dengan berbagai masalah kesehatan yang mengkhawatirkan seperti penyakit flu burung, polio liar (lumpuh layu), dan gizi buruk yang menimpa balita di berbagai daerah di Indonesia. Diduga pemerintah hanya bertindak reaksioner dalam menghadapi berbagai masalah kesehatan seperti itu.
Pemerintah tidak memiliki program yang berkesinambungan untuk menyelesaikan berbagai masalah kesehatan. Dana Kompensasi BBM sebagian memang diberikan pemerintah untuk memperbaiki kualitas kesehatan manusia baik melalui instansi kesehatan seperti Rumah Sakit dan Puskesmas maupun secara langsung diberikan kepada penduduk miskin. Namun jumlahnya belum memadai untuk menyelesaikan masalah kesehatan yang dihadapi bangsa ini.
Lebih buruk dari itu, saat ini pemerintah sepertinya bertujuan meliberalisasi pelayanan pendidikan dan kesehatan. Liberalisasi tersebut dilakukan dengan melakukan pengurangan subsidi besar-besaran pada sektor pendidikan seperti penerapan BHMN dan BHP pada perguruan tinggi negeri di Indonesia dan pembentukan Dewan Sekolah pada sekolah dasar dan menengah.
Cara seperti itu seolah-olah bertujuan memberikan kesempatan pada masing-masing institusi pendidikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan mereka secara mandiri. Tetapi kenyataannya hal itu hanyalah upaya pemerintah untuk melepaskan diri dari tanggungjawab sebagai penyedia pelayanan pendidikan. Di sisi lain, pemerintah memperbolehkan pendirian sekolah-sekolah swasta yang berbiaya mahal untuk penduduk kaya. Akibatnya, hanya penduduk kaya saja yang dapat mengenyam pendidikan sedangkan penduduk miskin akan kembali terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan karena tidak mendapatkan kesempatan memperbaiki keadaan mereka.
Liberalisasi pelayanan kesehatan juga dilakukan untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Penderita dibebani beragam prosedur yang dengan eksplisit menyatakan bahwa uang di atas nyawa manusia. Maka jika penduduk miskin tidak memiliki uang maka dapat dipastikan ia tidak akan mendapatkan pelayanan yang memadai bahkan dari institusi kesehatan milik pemerintah sekalipun.
Kesimpulan Sistem Ekonomi Pancasila
Ekonomi Pancasila merupakan Sistem Ekonomi yang khas (berjati-diri) Indonesia, yang digali dan dikembangkan berdasar kehidupan ekonomi riil (real-life economy) rakyat Indonesia. Ekonomi Pancasila adalah Sistem Ekonomi yang mengacu pada sila-sila dalam Pancasila, yang terwujud dalam lima landasan ekonomi, yaitu ekonomi moralistik (ber-Ketuhanan), ekonomi kemanusiaan, nasionalisme ekonomi, demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan), dan diarahkan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima prinsip penerapan Sistem Ekonomi Pancasila, yaitu: Pertama, roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral. Kedua, ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial, yaitu tidak membiarkan terjadinya dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial. Ketiga, semangat nasionalisme ekonomi; dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri.
Keempat, demokrasi ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan: koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat. Kelima, keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggung jawab, menuju perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Mengacu pada rumusan Sistem Ekonomi Pancasila Prof Mubyarto (BPFE, 2002), maka dapat dikemukakan bahwa platform (pilar) Sistem Ekonomi Pancasila tersebut meliputi ekonomika etik dan ekonomika humanistik (dasar), nasionalisme ekonomi dan demokrasi ekonomi (cara/metode operasionalisasi), dan ekonomi berkeadilan sosial (tujuan). Makna "ekonomi kerakyatan" tersebut adalah suatu perekonomian yang orientasinya pada keterlibatan orang banyak dalam aktivitas ekonomi, baik aktivitas produksi, konsumsi, maupun distribusi (Hamid dan Hendrianto, 2000).
Agenda-agenda ekonomi kerakyatan mengacu pada sistem ekonomi Pancasila dan amanat konstitusionalnya dapat ditekankan pada demokratisasi modal institusional (kelembagaan ekonomi rakyat) melalui penguatan organisasi koperasi, demokratisasi modal material melalui pengembangan lembaga keuangan mikro (kredit rakyat), dan demokratisasi modal intelektual melalui pembangunan manusia dan sistem jaminan sosial.
Daftra Link Pembahasan-Sistem-Ekonomi Terbaru
- Daftar Pembahasan Sistem Ekonomi Paling Terkenal-Terbaik dan Terpopuler
- Sistem Ekonomi Pancasila, Pengertian, Landasan, Prinsip, Konsep dan Demokratisasi
- Sistem Ekonomi Indonesia, Warisan Kolonial, Era, Reformasi dan Agendanya
- Sistem Ekonomi Dualistik, Teori, Ciri, Dualisme, Krisis dan Kesimpulannya
- Sistem Ekonomi Campuran dan Ekonomi_Islam, Pengertian, Pengembang, Sejarah, Hubungan dan Modelnya
- Sistem Ekonomi Sosialis_Pasar |Konsep Dasar dan Kesimpulannya
- Sistem Ekonomi Sosialis, Pengertian, Sejarah, Konsep, Perkembangan dan Ciri_Cirinya
- Globalisasi Ekonomi dan Kapitalisme Global, Pengertian, Konsep dan Perkembangannya
- Sistem Ekonomi Kapitalis, Filosofi, Ciri, dan Perkembangannya
- Sistem Ekonomi Keadilan Sosial, Pengertian, Konsep, Prinsip dan Etika
- Sistem Ekonomi Kebijakan Publik, Pengertian, Ilustrasi, Pengaruh dan Peranan Pemerintah
- Mekanisme Kerja Sistem Ekonomi |Pelaku, Pola Hubungan, Kolonial Indonesia dan Struktur Sosial
- Konsep Dasar Sistem Ekonomi |Pengertian, Mekanisme, Pendekatan, Bentuk dan Model
Posting Komentar untuk "Sistem Ekonomi Pancasila, Pengertian, Landasan, Prinsip, Konsep dan Demokratisasi"